Thursday, November 19, 2009

Artikel: Alergi terhadap Obat, yang salah? Tanya Siapa?


Artikel: Alergi terhadap Obat, yang salah? Tanya Siapa?

By: Wianti Aisyah

Fenomena seorang pasien alergi terhadap obat tertentu akhir-akhir ini sering terjadi di sekitar kita. Kejadian ini dialami Ajeng Putri Novita Rhamdani (8 tahun), warga Dusun Sumurwedi I RT 03/RW 01 Desa Sumbermulya, Kec. Haurgeulis, Kab. Indramayu, yang sekujur tubuhnya melepuh seperti mengalami luka bakar sehabis meminum obat panas yang diberikan dokter. Setelah mendengar berita tersebut, timbul dalam pikiran kita, siapa yang harus bertanggung jawab atas kejadian ini?

Alergi obat disebut juga Dermatitis Medikamentosa atau Erupsi Obat (Drug Eruption). Reaksi kulit terhadap suatu obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik maupun nonimunologik. Namun, yang dimaksud Erupsi akibat Obat adalah alergi yang terjadi terhadap obat yang terjadi melalui mekanisme imonologik.

Alergi adalah suatu keadaan di mana tubuh tidak bisa menerima sesuatu yang masuk (obat) karena ia memiliki perlawanan terhadap seyawa obat tersebut sehingga apabila ada senyawa yang asing dalam tubuhnya, maka tubuh akan melawan dengan mengeluarkan respon atas perlakuan tersebut.

Seseorang tidak dapat mengetahui apakah dirinya alergi terhadap obat sampai terlihat reaksi alergik dari obat tertentu. Semua itu diketahui sesudah dirinya meminum suatu obat dan timbul gejala-gejala yang aneh. Ibarat kita memiliki alergi terhadap udang atau makanan sea food, kita ketahui setelah kita memakan makanan tersebut dan timbul gejala gatal-gatal.

Bila kita ingin mengetahui apakah kita alergi suatu obat, maka tandailah setiap obat yang kita minum. Setelah itu, apabila timbul gejala berikut berarti hindari untuk meminum obat tersebut kembali. Gejala-gejala yang timbul, antara lain seperti gatal-gatal, timbulnya kaligata, kulit memerah disertai bintil-bintil kecil, bengkak di bibir, kelopak mata, kulit bersisik, sulit menelan, dan bahkan lebih parah kulit melepuh seperti yang dialami oleh Ajeng. Penyakit yang lebih berat akan terjadi Syndrom Steven Johnson dan N.E.T (Nekrolisis Epidermal Toksik) yang mengakibatkan kematian bila tidak segera mendapatkan pertolongan.

Berhati-hatilah Anda apabila meminum obat-obat yang dapat menimbulkan alergi, antara lain: a. Analgesik-Antipiretik: Paracetamol, Asam salisilat, Metampiron, Metamizole; b. Barbiturat : Karbamazepin; c. Jamu yang mengandung zat kimia; d. Antibiotik: Penisilin (Contoh: Amoksisilin), Sulfonamida; d. Obat jantung, sesak nafas, antiradang, kontrasepsi, dan obat anestesi.

Masalah di sini, siapa yang harus bertanggung jawab bila sudah terlanjur pasien menjadi korban setelah meminum suatu obat? Sebagian ada yang menganggap hal tersebut merupakan ‘malpraktik’ dokter karena dokter tidak mendiagnosis penyakit pasien secara benar. Ada juga yang menyalahkan apoteker karena kesalahan meracik obat. Namun, di sini apoteker hanya menerima dan meracik resep dari dokter, serta melihat secara teliti mulai dari patologis keadaan pasien, alergi terhadap obat apa saja, dan takaran dosis. Sangat jarang dokter menuliskan di resep mengenai alergi yang diderita pasien terhadap obat tertentu.

Di sini, dokter juga tidak bisa disalahkan karena saat bertanya kepada pasien, biasanya pasien juga belum mengetahui apakah dirinya memliki alergi terhadap suatu obat atau tidak karena untuk mengetahui hal itu harus dilakukan tes laboratorium. Sayangnya, banyak orang yang malas untuk memeriksakan dirinya.

Pihak keluarga bisa jadi pihak yang disalahkan karena diduga ayah Ajeng ternyata juga memiliki alergi terhadap suatu obat yang sama. Namun, baru sadar ketika dimintai keterangan dari pihak medis setelah terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki tersebut. Hal itu terjadi karena mekanisme imunologik. Dan akibatnya, pasien yang seharusnya sembuh setelah meminum obat malah kebabelasan menjadi lebih parah kondisinya bahkan bisa menyebabkan kematian.

Daripada menyalahkan pihak mana yang bersalah, lebih baik sedini mungkin, alangkah lebih baiknya kita memeriksakan apakah kita memiliki alergi terhadap suatu obat atau tidak. Caranya melalui tes dan terapi alergi dengan metode biofisika yang tidak sakit, tidak disuntik, bebas efek samping, tidak menggunakan obat/bahan kimia, bisa untuk semua umur dari bayi sampai manula, dan tidak memerlukan periode bebas alergi dan bebas obat antialergi. Tentu mencegah lebih baik daripada mengobati bukan?

Bagi kalangan medis, bisa mengikuti pelatihan cara tes alergi metode biofisika yang kelebihannya sama seperti di atas, bisa memeriksakan alergen apapun termasuk obat yang akan diresepkan kepada pasien sehingga mencegah terjadinya tuduhan ‘malpraktik’ dan mengurangi resiko terjadinya alergi obat. Diharapkan ketika kita sudah memeriksakan kondisi tubuh kita, hal-hal yang tidak diinginkan bisa diminimalisir sehingga tidak akan ada lagi Ajeng-Ajeng lainnya. (Oleh Wianti Aisyah, Mahasiswa Farmasi Universitas Padjadjaran)

2 comments:

  1. hmm, menarik. Lalu bagaimana dengan insiden pengobatan kaki gajah di Bandung? Apakah mungkin termasuk reaksi alergi obat juga?

    ReplyDelete
  2. Bukan,, Penyakit Kaki Gajah atau Filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk.

    Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan, dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki.

    ReplyDelete