Monday, September 7, 2009

GEMURUH TAKBIR TERAKHIR


GEMURUH TAKBIR TERAKHIR

By: Wianti Aisyah

Sore ini orang-orang akan beramai-ramai menuju masjid. Pada malam itu akan dilaksanakan taraweh perdana di bulan suci Ramadhan ini. Marhaban Ya Ramadhan, semua menerimanya dengan penuh kegembiraan. Namun, tidak begitu dengan Topan. Ramadhan dari tahun-tahun, ia lalui selama kurang lebih empat tahun pada umurnya yang beranjak sepuluh tahun dan tidak ada kesan yang berarti baginya.

“Mas, Dinda laper,” lirih gadis mungil itu kepada kakaknya.

“Sabar ya Dek. Sebentar lagi kita akan makan.”

Tapi, perut Dinda udah keroncongan. Sekarang kan udah Adzan.”

“Kita minum air putih saja ya.”

“Ko hanya air putih?”. Dinda memperhatikan orang-orang di sekelilingnya yang sangat menikmati jamuan berbuka. Ia hanya bisa menelan ludah mencium aroma masakan yang dihidangkan oleh para pedagang. Semua orang asyik dibalut bahagia karena bisa menunaikan ibadah puasa seharian dengan balasan makanan berbuka yang serba mewah.

“Kamu mau?”

“Tentu mas, Dinda ingin mencoba makanan itu,” jari telunjuknya menunjuk masakan cumi saus tiram yang sangat mengoda mata dan indera penciuman.

Mas janji kalau dapet rejeki, kita akan makan sepuasnya bahkan sampai perut tidak lagi mampu menampung.”

“Bener Mas janji? Tapi kapan?”

“Semua orang punya rejekinya masing-masing Dek.”

“Tapi ko orang-orang di sana memiliki semuanya, makan enak, pakaian bagus.”

“Dek, kita ga boleh iri seperti itu.”

Memang sulit untuk menjelaskan kepada anak kecil seperti Dinda tentang arti hidup sesungguhnya. Sayang sekali, Dinda sejak umur empat tahun semua yang dia miliki hilang. Beruntung Topan pernah mencicipi kebahagiaan sesaat sewaktu ia kecil dahulu yang selalu ditemani ibunya.

“Ayo mas kita masuk ke dalam.”

“Loh Dek, kita ga boleh masuk.”

“Emangnya kenapa?”

“Kita ga punya uang.”

“Tapi mas.” wajah polosnya memaksa dirinya untuk menerobos masuk ke dalam restoran.

“Dinda, tunggu...” Langkah Dinda tidak menyurutkan niatnya untuk makan. Topan lari dengan membawa satu kotak berisi semir sepatu dengan tergesa-gesa mengejar adiknya itu.

Pelayan restoran pun menghentikan langkahnya.

“Ehhh, mau ke mana gadis kumuh?” Kamu ga boleh masuk. Mana punya uang kamu.”

“Tapi saya laper Pak.”

Sang pelayan pun meminta satpam untuk mengusir Dinda dan Topan untuk keluar.

***

Perut Dinda masih terus berbunyi. Hanya ada sebungkus nasi sisa yang diambil dari tong sampah restoran itu. Begitu lahapnya Dinda memakan sampai-sampai Topan tak kuasa memberikan jatah makannya pada adiknya yang sedang dihinggapi rasa lapar tiada terkira. Orang-orang begitu saja membuang makanan dengan rasa tidak menyesal sama sekali. Namun, makanan sisa sebenarnya sangat berarti sekali untuk orang-orang tidak mampu seperti mereka.

“Enak Dek makanannya?”

“Nyam.. nyam,, wah enak banget Mas. Loh ko mas ga makan?”

“Mas udah kenyang Dek.”

“Bukannya sejak dari adzan tadi mas belum makan apa-apa. Tapi, ya udah, makasih ya.”

Pikiran Topan bergulir ketika dia dan adiknya berada dalam satu keluarga yang utuh, harmonis dan semua serba ada. Setiap hari, selalu makan enak, bisa sekolah dan membeli apapun yang diinginkan. Namun, itu hanya masa lalu yang tidak berarti apa-apa sekarang. Ia tersenyum sendiri mengingat masa-masa indahnya berkumpul dengan ayah dan ibu, beserta Dinda saat berumur 4 tahun.

“Dek, maafkan Mas ya. Kamu ga bisa sekolah.”

“Ga apa-apa mas. Dinda yakin suatu hari nanti bisa sekolah kan semua orang punya rejekinya masing-masing.”

Dengan menguyah makanan, ia tidak terlihat sedih sama sekali. Bayangan untuk bersekolah, membeli boneka, punya baju bagus, dan lainnya tidak tampak padanya. Kini yang gadis mungiil itu pikirkan adalah perut terisi dan bisa bertemu dengan ibu.

“Apa yang kamu inginkan sekarang Dek?”

“Aku ingin betemu ibu Mas.”

Dengan rasa kesal dan marah teringat pada ibunya yang sudah menelantarkan dirinya dan adiknya, mata Topan merah bila mendengar kata ibu.

“Sudah Mas bilang, ibu sudah meninggal. Jangan pernah sebut kata ibu lagi. Mengerti?”

Dinda sedih karena dibentak-bentak oleh kakaknya. Ia pun meneteskan air mata tak kuasa menahan keinginannya bertemu dengan sang bunda.

“Maafkan Mas sudah bentak-bentak kamu Dek.”

“Mas jahat…”

“Mas janji akan selalu membahagiakan dan melindungimu untuk selamanya. Jadi, tanpa ibu kita akan tetap bahagia.”

***

Setelah selesai makan, Topan langsung mengajak Dinda untuk menuju ke masjid untuk menunaikan salat tarawih. Selalu, setiap masuk masjid, mereka menjadi bahan pembicaraan orang-orang atas pakaian yang mereka gunakan kumuh dan lusuh, mungkin itu salah satu pakaian mereka dari tiga pakaian yang ada. Bagi Topan itu tidak masalah, yang penting bisa beribadah kepada Allah.

“Mas, mukenah di sini sudah dipake semua. Dinda ga da mukenah.”

“Ya udah, ikuti salat aja. Kamu kan masih belum baligh, ga pake mukenah ga jadi masalah ko.”

***

Apa kau tahu?? Matahari selalu menyinari lorong langit ketika siang tiba, begitu pun bulan, ia selalu menghiasi malam, meski mendung mereduksi indah pesonanya. Hari telah berganti hari, semua itu mereka lalui dengan tulus. Ya tulus dengan menikmati kehidupan yang mungkin tidak berarti sama sekali bagi orang-orang kaya di dunia ini. Namun, bagi Topan hidup ini akan terus berlanjut, masa lalu adalah kenangan, masa sekarang adalah kenyataan dan hari esok hanyalah impian yang belum seratus persen tercapai.

Sudah hampir dua tahun, Topan dan Dinda lalui bersama, tanpa didampingi oleh orang tua. Ayahnya telah berpulang pada Sang Khalik akibat sakit TBC. Mungkin ini tidak sesederhana yang kita pikirkan, ternyata TBC tidak mengenal status sosial. Semua terjadi hanya sekejap saja, semua harta dan kepunyaannya telah pergi, termasuk isteri yang dicintainya. Oleh sebab itu, Topan sangat benci mendengar kata “Ibu”. Baginya, ibu tidaklah berarti apa-apa dalam hidupnya.

Langit malam memendarkan cahayanya menjadi gelap gulita, di kota ini sampai malam masih tetap ramai. Namun, tidak begitu dengan Topan. Dalam lubuk hatinya yang dalam, ia merasa sepi. Ingin sekali ia berteriak sekeras-kerasnya meratapi nasibnya yang tidak semujur orang lain. Andai saat ini ia masih bisa berkumpul dengan keluarganya, pasti hatinya tidak akan gerimis seperti hujan membanjiri suatu kota yang mati akan keingatannya pada Tuhannya.

“Mas, kita tidur di mana?”

Telunjuk Topan menunjuk ke arah toko yang telah tutup. Digelarnya sebuah kardus sebagai alas untuk tidur. Mereka pun telah disihir oleh sang mimpi.

***

Hari ramadhan ke-15 pun tiba. Pada malam kelima belas, ia didoakan oleh para malaikat dan para penanggung (pemikul) Arsy dan Kursi.

Setiap uang yang didapatkannya hasil mengamen, Topan gunakan untuk makan sehari-hari, untuk sahur dan buka. Bagi mereka tidak ada bedanya, antara puasa atau tidak. Sudah sering mereka makan sekali sehari, bahkan Topan pernah tidak makan sama sekali.

Rutinitas mereka hanyalah di jalanan. Beranjak dari sisi kiri ke kanan, menetap di lampu merah dan dalam bus, mengamen dan menyemir sepatu. Menjelang matahari hampir tenggelam. Tiba-tiba… Dinda melihat seorang bapak berpakaian hitam dilapisi jaket kulit dengan kaca mata gelap mencoba merogoh tas ibu yang baru keluar dari supermarket itu.

“Bentar Mas, Dinda mau ke sana dulu?”

“Jangan jauh-jauh Dek.”

Dilihatnya bapak itu dengan seksama, ya ia bisa menebak pasit ia copet yang ingin mengambil dompet ibu itu. Dugaannya tepat, sang copet berhasil mencuri dompet tersebut, namun ibu berjilbab itu tidak merasa sama sekali sesuatu dari tasnya hilang.

Dinda, si gadis pintar itu, memberitahu bahwa ada seorang bapak-bapak yang telah mengambil dompet yang ada di tas ibu tersebut.

“Maaf Bu, dompet ibu sepertinya telah dicopet.”

Ibu dengan pakaian anggun nan mempesona itu melihat tasnya dan kaget melihat dompetnya tidak ada. Dengan rasa cemasnya, ia langsung berteriak meminta tolong kepada orang-orang bahwa dompet yang sangat berarti dalam hidupnya itu dicopet.

Dinda pun bergegas lari mengejar sang pencopet pergi. Ia berteriak sangat keras agar warga sekitar memberhentikan langkah si pencuri itu.

“Hei tunggu, dasar copet. Bisanya Cuma ngambil hak orang. Emang ga bisa berusaha kerja ya. Dinda aja masih kecil udah bisa nyari uang. Eh ini udah tua masih aja ngandelin orang lain, haram tuh uangnnya,” bisik Dinda dalam hati.

Pencopet itu tak sengaja tersandung batu dan akhirnya terjatuh.

“Tuh kan rasain, azab dari Allah itu,” lirih Dinda berbicara sendiri dalam hati.

Dompet cokelat berhiaskan anyaman indah itu akhirnya dapat Dinda amankan. Orang-orang sekitar langsung memukuli sang copet layaknya main hakim sendiri.

“Bu, ini dompetnya.”

Alhamdulillah, terima kasih ya Nak. Astagfirullah.” Mata ibu itu menantap dalam wajah Dinda dengan seksama. Ia teringat akan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya.

“Ada apa Bu? Ko menatap Dinda seperti itu?, heran Dinda akan kelakuan wanita yang baru dikenalnya itu.

“Oh tidak, tidak ada apa-apa. Kamu sangat pemberani Nak, meski usiamu sepertinya masih sangat kecil.”

Dinda pun tersenyum.

“Oia, namamu siapa tadi?.” Dahi wanita itu mengerut.

“Aku Dinda. Saya panggil ibu siapa?”

“Panggil saja ibu Syifa.”

Dinda, ya nama yang pernah berarti dalam hidupnya.

***

“Terima kasih ya Bu atas semuanya.”

“Kamu senang?”

“Tentu, Dinda bahagia sekali Bu. Akhirnya Dinda bisa berbuka puasa dengan makanan yang baik, punya baju baru dan mukenah pertama. Terima kasih Bu.”

“Sama-sama Nak. Kamu telah menolong ibu mendapatkan dompet yang paling berharga dalam hidup ibu.”

“Maksud ibu?”

Di dompet itu tersimpan…Em, tapi, sudahlah, tidak usah dibahas.Kamu tinggal di mana?”

Ya Allah, Dinda sampe lupa sama Mas Dinda. Dia pasti kesulitan menemukan Dinda.”

“Dinda pergi dulu ya Bu, mau mencari Mas.”

“Oh silakan, kalau ada apa-apa, hubungi ibu.” Ibu berhati lembut itu menyertakan kartu nama dan beberapa uang puluhan ribu kepada anak mungil itu.

***

“Dinda.. Ke mana aja kamu? Mas dari tadi nyariin kamu, Alhamdulillah kamu ga apa-apa kan?”

“Lihat apa yang Dinda bawa.”

“Apaan ini? Ko belanjaan kamu banyak banget. Dapet dari mana semua ini?”

“Semua ini ungkapan terima kasih dari ibu yang sangat cantik karena Dinda telah menolongnya menemukan dompet yang dicuri copet.”

“Lain kali tidak usah minta imbalan dong. Tapi ga apa-apa, ini mungkin rejeki dari Allah. Loh ko Mas ga dibeliin, hehe.”

“Oia, ini kartu namanya.” Dinda meraba sakunya dan mencari ke belanjaanya, ternyata kartu nama ibu yang baik hati itu tidak ada.

***

Di keramaian jalanan, tersimpan kerinduan pada sesosok ibu yang sudah beberapa tahun tidak bertemu. Tapi, semua impian itu harus Topan hempaskan. Di kejauhan Dinda mengamen berjarak agak jauh dengan Topan. Matanya berhenti pada satu titik, ya ibu yang kemarin itu.

“Ibu..”

“Hey Nak.. Rajin sekali siang yang panas ini tetap bekerja.” Di mana orang tuamu?.” Hatinya iba, seharusnya anak manis itu mengemban bangku sekolah bukan berada di jalanan mencari nafkah yang seharusnya dari orang tua.

“Ayah saya sudah meninggal, ibu telah pergi meninggalkan kami. Dinda hanya tinggal bersama Mas yang selalu melindungi Dinda.”

Ya Allah.. Jadi kalian hanya tinggal berdua?”

“Iya bu. Mas yang setiap hari membanting tulang menghidupi Dinda.”

“Dinda tidak sekolah?”

“Apalagi untuk sekolah, biaya makan sehari-hari saja sampai harus kerja seharian.”

Subhanaallah. Ibu salut dengan kalian. Em, oia, gimana kalau kita jalan-jalan sebentar?”

“Tapi Dinda mau mengajak Mas boleh?”

“Tentu saja, silakan.”

***

“Aduh, Dek, mas malu ketemu sama beliau?”

“Udah ga apa-apa. Tuh ibunya, ayo kita ke sana.”

“Ibu… Kenalkan ini Mas Dinda, mas terhebat di dunia, hehe.”

Mata Topan dan ibu Syifa beradu pandang satu sama lain...

Topan hampir tidak percaya, melihat sesosok wanita yang dikenalnya itu. Hari itu bagaikan petir yang menyambarnya. Angin sepoi-sepoi berubah menjadi angin topan, bahkan tornado. Banjir pun tidak sebatas air menggalir ke rumah-rumah, melainkan bagaikan banjir bak layaknya gunung menjulang tinggi. Si jago merah tak lagi melahap satu rumah, semua rumah yang ada dalam satu kampung bahkan satu komplek perubahana pun habis terlahap oleh amukan kelaparan jago merah.

Ibu Syifa larut dalam bayangannya pada empat tahun silam. Ingin sekali ia memeluk Topan, mendekap erat nafas yang telah pergi dari pangkuannya.

“Topan… Jangan pergi.”

Topan pun menjauh, lalu lari sekuat tenaga. Tak terasa air matanya membasahi pipinya. Ibu Syifa pun berusaha mengejar Topan, namun laki-laki kecil itu hilang dari pandangannya. Setelah kecapean mengejar Topan, Dinda pun mengikuti di belakangnya.

Kenapa Mas Topan lari setelah melihat ibu?”

Hati Ibu Syifa antara sedih dan senang. Air matanya tak terasa menetes…

“Sayang, ini mamah. Kaulah anakku yang sudah lama mamah cari.” Ibu Syifa langsung memeluk buah hatinya yang sudah lama tidak bertemu.

“Benarkah?” Mata Dinda berbinar, ada rasa tidak percaya dengan apa yang telah ia dengar.

“Maafkan mamah yang tidak bisa menemukanmu. Sudah hampir empat tahun mamah mencari-cari kalian di Jakarta, tapi tidak juga ditemukan. Sekarang, akhirnya Allah mempertemukan kita di kota kembang ini.”

“Mamah… Sudah lama Dinda mencari mamah ke mana-mana.”

“Di mana ayahmu sekarang?”

“Papah sudah meninggal karena sakit.”

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Kenapa mamah meninggalkan kami?”

Almarhum papahmu tidak membolehkan mamah untuk bertemu kalian lagi setelah kami bercerai. Sudahlah, kamu masih belum terlalu mengerti.”

Dinda dan ibu Syifa berpelukan seperti induk ayam yang telah menemukan itiknya yang hilang.

“Sekarang, kita harus menemukan Masmu.”

***

“Mah, Mas Topan pergi ke mana? Ko sudah dua minggu tidak ketemu juga.”

“Mamah sudah mencari ke mana-mana, tapi belum menemukan juga. Tenang saja, mamah sudah meminta bantuan polisi untuk mencari Mas Dinda. InsyaAllah kita harus yakin Topan akan kembali bersama kita.”

Malam itu, suara takbir bergemuruh di seluruh penjuru dunia.

Semua makanan sudah ia persiapkan untuk menyambut hari nan fitri esok. Malam itu seharusnya, ia bisa melalui bersama kedua buah hatinya. Hatinya gelisah mengingat bagaimana keadaan puteranya saat ini. Tak henti-hentinya ia selalu memanjatkan doa pada Allah.

Tiba-tiba, telepon pun berdering, polisi mengabarkan telah menemukan Topan. Akhirnya Topan dipulangkan ke rumah Ibu Syifa.

Alhamdulillah Nak, maafkan mamahmu ini. Bolehkah mamah memelukmu?”

“Mamah, saya ga pernah merasa punya mamah seperti Anda. Ibuku sudah mati. Mengerti?”

“Loh Mas ko bersikap begitu sama mamah?”, tanya Dinda heran.

“Dinda, kenapa kamu mau tinggal dengan wanita yang jelas-jelas tidak pernah menggangap kita anaknya? Sekarang kamu harus pilih, pergi sama Mas atau tetap tinggal dengan wanita ini?”

Hati Topan sakit karena telah mengucapkan tidak seperti yang ia inginkan. Batinnya sungguh senang, karena telah menemukan ibu yang telah meninggalkannya, namun keegoisanlah yang membuatnya benci pada sosok yang sudah lama dinantinya itu.

“Baik kalau kamu tetap tinggal bersamanya, jangan pernah menganggap Mas sebagai kakakmu. Dan jangan pernah mencari Mas lagi. Biarkan aku pergi dari hidup kalian.”

“Topan, mamah mohon biarkan mamah jelaskan semuanya. Almarhum ayahmu telah membawa kalian pergi. Beliau tidak mengizinkan mamah bertemu dengan kalian lagi. Sudah bertahun-tahun mamah mencarimu, tapi tidak ketemu juga.”

“Kalau Anda memang peduli dengan kami, kenapa tidak bersungguh-sungguh mencari kami sampai dapat? Mana ada seorang ibu yang tega membiarkan anak-anaknya menderita, hah?” Sorot mata Topan bagaikan elang yang sangat marah pada musuhnya.

“Mas, Dinda mohon jangan pergi lagi. Dinda akan sedih bila tidak ada Mas di samping Dinda.”

Ibu Syifa pun tidak henti-hentinya menangis.

“Topan, mamah sangat menyayangimu, anakku.”

Topan pun langsung berlari, tak sanggup menahan rindu pada ibu yang telah melahirkannya.

“Tunggu Topan, mamah akan terus mengejarmu kemana pun kamu pergi.

***

Jalanan dipenuhi oleh lalu lintas mudik dan acara menyambut Idul Fitri yang sangat meriah. Hal itu membuat Ibu Syifa sulit melihat Topan karena sesak akan massa.

“Mamah, tunggu Dinda.”

Ya Allah kamu seharusnya tidak mengikuti mamah lari. Sekarang kembali ke rumah. Biar mamah mencari Mas mu sendiri.”

“Ga mah, Dinda mau ikut.”

“Tapi Nak, Masmu pergi ke arah mana? Mamah kehilangan jejak. Nafas Ibu Syifa terasa sesak karena berlari-lari mengejar anaknya. Dari kejauhan Topan tiba-tiba menghilang,

***

Semua orang pun, terkejut akan hentakan seorang tubuh laki-laki kecil jatuh ke dalam kasarnya aspal. Darah mengucur ke mana-mana. Kini, Tubuh kurus itu hampir tak bernyawa. Jiwanya ingin segera meninggalkan raga yang malang itu. Tubuh Topan terbang bersama mimpi-mimpi indahnya. Lumat. Luluh. Lantak.

“Topaaaaan……” Ibu Syifa langsung merengkuh tubuh malang sang anak, pipinya sudah basah dan bajunya telah bercampur dengan merahnya derah. Ia tak henti-hentinya mencium kening puteranya dan mengatakan,

“Mamah sayang padamu Nak. Jangan tinggalkan mamah lagi. Mamah mohon.”

Hati Topan ingin mengucapkan sesuatu, namun mulutnya tak kuasa berucap. Sekuat tenaga, ia berdoa pada Allah.”Ya Allah, izinkan aku untuk mengucapkan sesuatu kepada mamah hamba sebelum Aku kembali pada-Mu.”

“M..ma..ah, Topan sayang mamah. Maafkan Topan telah kasar pada mamah.”

“Mas, jangan tinggalin Dinda.”

“Mas sayang kamu Dek. Dinda harus berjanji harus selalu menemani mamah.”

“Dinda janji Mas, tapi jangan pergi.”

“Nak, mamah sudah memaafkanmu. Mamah bahagia mendengar ucapanmu tadi. Kamu harus bertahan Sayang.”

“Tidak Mah, Topan ingin menemui-Nya dan memohon maaf atas segala kesalahan Topan selama ini pada mamah, wanita yang telah membawa Topan hadir ke dunia ini. La illaha illallah muhammadarasulullah.

Itulah malam takbir terakhir untuk Topan.

-SELESAI-



No comments:

Post a Comment