Friday, March 5, 2010

Cerpen_DI BATAS WAKTU

DI BATAS WAKTU

Oleh : Wianti Aisyah

SMS masuk...

Alhamdulillah ukhti, S-2 ana lulus. InsyaAllah minggu depan ana berangkat ke Madinah.”

Alhamdulillah Ya Rabb, akhirnya cita-cita akang tercapai. Hanum ikut bahagia.”

“Tapi... ada sesuatu yang ingin ana tuturkan. Sudah lama ana ingin bilang ke ukhti bahwa umi ana menginginkan agar ana pergi ke Madinah dengan membawa isteri.”

Hatiku berdebar-debar. Pikiranku seakan terbang ke angkasa, membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Apakah dia memang jodohku? Bagaimana dengan kuliahku. Aku baru semester dua. Baru hampir satu tahun mengenyam bangku kuliah. Apakah aku harus meninggalkan studi demi menyempurnakan separuh agamaku?

Subhanallah.. Lalu bagaimana langkah akang selanjutnya?”

“Begini. Afwan Jiddan, sebenarnya dari kecil, umi sudah menjodohkan akang dengan sepupu jauh akang. Akang menganggap dia hanya sebatas adik. Namun, apa daya diri ini. Akang minta maaf kalo udah bikin Hanum kecewa.”

Hancur hati ini rasanya sakit seperti tersengat lebah. Namun, di dunia ini tidak ada penyakit yang lebih sakit daripada sakit hati. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Aku ingin menangis selamanya. Hati ini hancur berkeping-keping melihat SMS balasan darinya.

Hubungan aku dan dia sudah hampir dua tahun berjalan. Dia sudah datang kepada orang tuaku untuk menjalin hubungan serius denganku. Dia baik. Wawasan agamanya luas. Hal itu sudah tentu karena dia lulusan universitas Islam terbaik di negeri ini. Dia hampir mengkhitbahku sebulan yang lalu. Namun, aku masih menggangtungkannya. Aku masih ingin kuliah dan tidak ingin terburu-buru menikah, serta umurku belum genap 19 tahun.

***

Setelah setahun berlalu dari kisah cintaku yang kelam. Aku lebih banyak meluangkan waktuku untuk memperdalam ilmu agama. Saat ini aku memiliki teteh mentor yang sangat care padaku, Teh Sari namanya. Aku memiliki empat teman mentoring yang sangat baik-baik. Selama mentoring kita sering curhat ke sana kemari yang ujung-ujungnya ke pernikahan.

“Teh, aku lagi suka sama seseorang lho?”, celetuk Rani.

“Ehem, sama siapa hayo?”, tanya Teh Sari.

“Ada aja. Pokoknya orang yang paling ikhwan di kampus kita.”

Aku langsung berpikiran pada Kang Salman. Dia termasuk mahasiswa yang berpengaruh di kampus. Ikhwan yang satu ini bukan ikhwan sembarangan, bukan pula ikhwan karbitan. Terbukti dari kesehariannya yang apabila berinteraksi dengan akhwat, ia selalu menundukkan pandangan. Tidak pernah terlihat sekali pun ia berinteraksi dengan akhwat berduaan. Semua akhwat yang ada di kampus selalu menghormatinya. Dia aktivis dakwah sejati.

Aku jarang berinteraksi dengan Kang Salman. Sempat beberapa kali ketika kita sama-sama berada di dalam suatu Syuro rohis di kampusku. Interaksi antara akhwat dan ikhwan dihijab. Saat aku berbicara, mengungkapkan suatu solusi akan masalah yang sedang dihadapi rohis dengan birokrat, Kang Salman menanggapi usulanku dengan tidak sengaja mengucapkan...

“Syukron Hanum atas usulannya. Begini...”

Hatiku berbunga-bunga. Dia ternyata mengenalku. Padahal aku tidak termasuk orang penting di kampus. Dari mana dia kenal aku?

***

Asslm. Selamat malam, lagi ngapain Ukhti? ”

Asslm. Ukthi hari ini sibuk apa aja? Jangan lupa makan ya.”

Hampir setiap malam SMS itu selalu datang ke handphoneku. Aku sangat bosan membacanya. Sudah hampir tiga minggu dia selalu mengirimkan SMS padaku. Aneh memang. Baru pertama kali bertemu sudah berani mengirim SMS ingin serius denganku.

“Met Malam Hanum. Boleh ga aku berteman denganmu? Sejak tadi siang kita bertemu, aku kagum padamu. Aku ingin serius denganmu”

Gombal. Itulah kata pertama kali yang terucap dari mulutku. Gufron hanya sekian dari 20 laki-laki yang menganggap dirinya “ikhwan” yang berusaha mencuri hatiku dengan kata-kata manisnya. Aku hanya membalasnya dengan kata-kata yang tidak mengandung makna bertanya. Namun, lagi-lagi dia membalas kembali.

“Syukron Hanum udah mau berteman denganku. Apa kau tau, sejak saya mengenalmu, saya merasa lebih dekat dengan-Nya. Semoga Engkau merasakan hal yang sama denganku.”

Mengaku lulusan pesantren dan anak dari kyai terpandang. Namun, mengapa bersikap seperti ini kepada lawan jenisnya? Bagaimana dengan ilmu yang dimilikinya? Percuma saja memiliki ilmu tinggi namun masih kalah dengan bisikan Syaitan. Sungguh aneh tapi nyata.

***

Asslm. Num, lagi ngapain? Udah shalat? Aktivitas hari ini apa aja? Sibuk banget ya. Oia, besok mau puasa Sunnah ga? Tau ga kenapa Allah menyukai puasa Sunnah Senin-Kamis?”

Aku hanya bisa membalas...

Waalaikumsalam. Maaf ga. Tau. Afwan udh malam.”

Aku selalu menjawab singkat dan padat, serta tidak menimbulkan makna untuk bertanya. Namun, lagi-lagi datang balasan.

“Wah subhnalllah wawasan Ukhti luas. Ya sudah Selamat istirahat ya Ukhti. Jaga kesehatan ya. Nanti mau shalat Qiyamul Lail ga? Kalo ga keberatan nanti saya misscall. Gimana?

Syukron. Ga perlu. Wassalam.”

Aku sudah sangat bosan menerima SMS darinya. Bukan karena aku tidak punya perasaan dengannya, namun aku ingin merubah diriku untuk tidak menerima SMS sembarangan yang hanya menambah dosa. Biarkan aku sendiri menapaki jalanku yang masih panjang. Biar aku sepi, aku hampa, aku basi, itu semua karena Allah menyayangiku.

***

Saat aku menemui kesulitan ketika praktikum. Asdos yang ada di dalam hanya Kang Salman. Terpaksa aku bertanya kepadanya. Lagi-lagi denyut nadiku berdegup kencang ketika berada di dekatnya. Beribu istigfar aku ucapkan. Aku pun tidak mengerti dengan apa yang ia jelaskan. Suaranya lembut dan lantang. Namun, seperti biasa, matanya tak pernah sedetik pun melihatku. Itu yang aku kagumi darinya. Aku berkata dalam hati, “Tidak, tidak, aku tidak boleh jatuh cinta padanya. No Men in my heart Now.”

***

Saat mentoring tiba, aku langsung bercerita kepada Teh Sari mengenai perasaanku yang salah mengagumi seorang ikhwan. Teh Sari sudah mengganggap adik mentornya seperti adiknya sendiri. Sifat keibu-ibuannya yang selalu menentramkan dan membuat nyaman ibarat itik yang selalu dilindungi induknya.

“Sangan wajar Num. Dia ikhwan sejati. Semua akhwat pasti berharap padanya.”

Aku berbalik tanya...

“Termasuk teteh?”

Teh Sari hanya memberikan suatu senyuman termanis padaku. Aku tak mengerti apa arti senyum tersebut. Apakah ia juga memiliki perasaan yang sama denganku?

***

Handphoneku bergetar tanda SMS masuk.

Asslm. Mungkin selama ini ukhti tidak senang bila saya selalu SMS. Kalau tidak saya yang SMS duluan, mana mungkin ukhti ingat pada saya. Cobalah sekali-kali ukhti untuk SMS duluan, ga ada salahnya bukan menjalin silaturahmi.”

Aku ingin sekali mengungkapkan ketidaksukaanku akan sikapnya yang sudah menuntut macam-macam.

Waalaikumsalam. Afwan saya hanya ingin menjaga hati. Saya yakin antum adalah orang yang mengerti agama. Menjalin silahturahmi tidak harus seperti ini.”

Balasan pun datang...

“Mungkin saya tidak pantas berteman dengan anak kuliahan seperti ukhti. Memang benar background saya pesantren. Saya jg selalu menjaga pandangan kepada santriwati. Saya hanya ingin serius kepada ukhti. Saya akan melakukan apapun demi ukhti. Tapi sepertinya ukhti sama sekali tidak pernah menoleh kepada saya.”

Hatiku geram ingin sekali menghentikan SMS itu.

“Bukan itu maksud saya. Saya ingin menjadi seorang akhwat sejati. Apa antum tau, SMS yang sering antum kirimkan bisa mengotorkan hati kita?”

Setelah hampir sepuluh menit menunggu, balasan darinya pun tiba...

“Maaf kalo selama ini saya mengganggu ukhti.”

Aku malas membalasnya. Aku bersyukur akhirnya dia bisa mengerti.

***

SMS masuk dari Gufron...

“Assalam. Ukhti, InsyaAllah tanggal 20 bulan ini saya akan memenuhi sunnah Rasul untuk menyempurnakan separuh agama saya. Saya melakukan ini karena ingin menjauh dari kehidupanmu. Kedatangan ukhti sangat ditunggu.”

Jantungku hampir berhenti berdetak melihat SMS dari Gufron. Antara haru, bahagia, sedih dan kecewa sekaligus. Namun, kecewa bukan karena aku cemburu, tapi kesal dia telah mempermainkan aku. Lagi-lagi seperti itu. Mengapa kisah cintaku selalu berakhir dengan sebuah kata “pernikahan”?

***

Hari itu wisuda gelombang pertama dimulai. Tak sabar aku melihat Teh Sari mengenakan kebaya. Juga tak kalah penting, melihat Kang Salman mengenakan jas dengan pesona aura yang terpancar dari wibawanya.

Subhanallah Teh Sari cantik sekali mengenakan kebaya?”

“Ah Hanum bisa saja. Mana teman-teman lainnya?”

“Tuh.. lagi pada makan, mumpung gratis, hehe.”

Saat lari menuju teman-teman, aku bertubrukan dengan seseorang. Taukah siapa?

Afwan Kang, saya ga sengaja.”

“Ga apa-apa.”

Seseorang itu adalah Kang Salman. Baru kali ini matanya menatapku. Saat terindah itu saat dua bola mata kita saling berpandangan. Istigfar aku ucapkan berulang kali. Ingin sekali aku mengucapkan selamat. Namun, lidah ini seakan susah mengungkapkannya. Teh Sari hanya diam melihat kami saling pandang.

***

Ketika aku dan teman-teman satu mentoring kami merayakan wisuda Teh Sari. Tiba-tiba Teh Firda, teman dekat Teh Sari, mengatakan dengan lantang.

“Sari, tau ga Salman bentar lagi mau nikah lho.”

Hah... Semua akhwat yang mendengar berita tersebut hanya bisa mememperlihatkan wajah yang kecewa. Semua diam, sunyi, dan tak ada suara, kecuali seseorang, yaitu Teh Sari. Ia hanya tersenyum.

“Loh ko kamu seyum Sar? Kamu tau siapa calonnya?”

Ia hanya tersenyum lagi sambil menggelengkan kepala.

“Tapi katanya Salman mau ta’arufan dulu. Pastinya akhwat itu sangat beruntung memiliki suami seperti Salman.”

Taukah perasaanku setelah mendengar berita menyakitkan itu. Denyut nadiku, arteri dan vena seakan berhenti. Mataku tidak bisa berkedip. Saluran pencernaanku berhenti, ususku seperti tidak mau menggiling makanan. Hatiku tidak bisa lagi mendetox racun-racun dalam tubuh. Seluruh fungsi saraf-saraf di otak seakan ingin istirahat. Pernafasanku sesak seakan ada yang mengikat tali di leherku. Aku hanya bisa berucap dalam hati...

“Ya Rabb, aku yakin Engkau sudah mempersiapkan yang terbaik untukku. Jadikan hamba orang yang sabar untuk menantinya.”

Harapanku sudah putus terhadap Kang Salman. Sungguh beruntung akhwat yang akan menjadi isterinya. Ia sungguh berani mengambil langkah untuk nikah muda. Setelah lulus langsung nikah. Banyak orang yang bercerita bahwa Kang Salman sudah memiliki penghasilan yang cukup hingga akhirnya ia membulatkan tekad untuk memenuhi sunnah Rasul. Bukankah apabila dua sejoli menikah muda, maka syaitan akan menangis?

Sekarang aku harus menata kehidupanku lagi. Masa aku harus menangis karena cinta lagi? Aku kan bertahan menanti cinta meski tak kan mungkin menerjang kisahnya walau perih menusukku.

***

Di rumah aku hanya bisa menangis. Aku sadar bahwa aku hanya akhwat biasa. Terlalu bermimpi memiliki suami ikhwan. Mana ada ikhwan yang mau memiliki isteri yang kurang wawasan Islam? Toh, keluargaku tidak terlalu melirik Islam buktinya aku baru diperbolehkan orang tua memakai jilbab ketika pertama kali masuk bangku kuliah.

Dari dalam kamar, terdengar ada tamu yang datang. Aku tak memperdulikan siapa yang datang. Hatiku masih hancur. Namun, sepertinya aku mendengar suara seseorang yang aku kenal di ruang tamu.

Tok...Tok..Tok..

“Hanum, ibu mau berbicara sebentar. Tolong buka pintunya. Dari tadi pagi ko ga keluar-keluar kamar?

“Ada apa Bu?”

“Ndo, ini penting. Hayolah di buka. Jangan kaya anak kecil seperti ini.”

“Iya..iya.”

“Wajahmu kusut sekali. Sekarang kamu harus berdandan yang cantik. Ada seseorang yang ingin berkenalan denganmu.”

“Ga Bu. Hanum masih sakit hati. Hanum mau melupakan laki-laki dulu. Hanum ingin fokus kuliah.”

“Loh, sebaiknya bila ada seseorang yang taat agama memintamu untuk menikah, kamu tidak boleh tolak begitu saja?”

“Emang siapa Bu? Paling anak teman bapak.”

“Bilang besok aja ke sini lagi. Sekarang Hanum lagi ga enak badan.”

“Num, kasian dia datang bersama keluarganya. Katanya dia mau ta’aruf denganmu.”

“Tapi Bu...”

“Udah sekarang ganti baju dan berpenampilan terbaik. Dia kelihatannya soleh dan sudah mapan. Katanya ia kenal kamu di kampus.”

“Hah teman kampus?”

Perasaan penasaran menghampiriku. Siapa yang ibu maksud? Sudahlah siapapun orangnya aku tidak ingin buru-buru menikah. Hati ini masih sakit.

Saat menuju ruang tamu, betapa terkejutnya aku. Kang Salman datang ke rumahku. Di sana ada Teh Sari sambil memberikan senyum lesung pipit termanisnya padaku. Ada gerangan apa Teh Sari datang ke sini? Apa karena ia teteh mentorku? Siapa yang akan ta’arufan dengan ku? Masa Kang Salman? Atau antara Kang Salman dan Teh Sari ada apa-apa?

Assalamu’alaikum Hanum.”

Waalaikumsalam Kang.”

Aku langsung menjabat tangan kedua orang tua sebelah kanan kiri Kang Salman. Ibu itu sangat tulus mencium keningku seakan aku anaknya. Orang tua itu sepertinya orang tua Kang Salman. Ayah Kang Salman langsung menceritakan maksud kedatangan mereka ke sini.

“Begini, kami keluarga dari Salman ingin menjalin Ta’aruf dengan Neng Hanum.”

Aku seperti tersengat listrik. Badanku tidak bisa bergerak. Mataku malu menatapnya. Aliran darahku seakan berhenti. Mulutku seperti ditutup kain kuat. Aku seperti mayat berdiri. Mukaku pucat. Mungkin Hemoglobinku turun drastis di bawah 5 gram/dl. Hingga aku ingin pingsan. Tapi aku bertahan. Aku ingin bertahan dari mimpi ini. Rasanya tidak ingin bangun dari tidur. Namun, semua itu adalah kenyataan. Aku tidak sedang bermimpi.

“Semua tergantung kepada kedua orang tua Hanum.”

“Ayah dan ibu setuju kamu ta’aruf dengan Nak Salman.”

“Bagaimana dengan Neng Hanum?”, tanya ayah Salman.

“Saya bersedia Pak.”

“Begini, rencananya bulan depan kami berniat untuk meng-khitbah Neng Hanum. Seminggu setelahnya dilangsungkan walimahan. InsyaAllah tahun depan saat Neng Hanum lulus akan dibawa Salman untuk melanjutkan beasiswa S-2 di Jerman bila jadi. Bagaimana Neng?”

InsyaAllah Hanum bersedia.”

“Alhamdulillah.”

Selama ini, Teh Sari menyembuyikan sesuatu dariku. Sebenarnya Kang Salman sudah lama mengenalku dari Teh Sari.

Hari itu adalah hari bahagiaku. Allah telah menjawab doaku selama ini. Semoga Salman adalah jodohku dunia dan akhiratku kelak.

Jatinangor, 9 Januari 2010

SEKIAN




1 comment:

  1. Casino de L'Auberge de Casino de LA. de la Casino de L'Auberge de Casino de L'Auberge
    Casino de L'Auberge 바카라 사이트 de worrione Casino de L'Auberge de Casino de L'Auberge de Casino de L'Auberge de Casino de L'Auberge de Casino de L'Auberge de Casino de febcasino Casino de L'Auberge de Casino de

    ReplyDelete